Senin, 11 Maret 2013

2013/1 Teriakan yang makin mengokohkan


            Konon ada kebiasaan unik yang ditemui penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon di Pasifik Selatan. Ketika terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit dirobohkan, mereka mengumpat dan meneriaki pohon tersebut. Inilah cara yang mereka lakukan, dengan tujuan agar pohon tersebut mati,. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga keatas pohon itu. Lalu, ketika sampai diatas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka melakukan teriakan berjam-jam, kurang lebih selama 40 hari. Konon, pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mongering, layu dan mudah untuk dirobohkan. Lepas dari kebenaran validitas cerita di atas, para pakar pendidikan banyak menjadikan kisah ini sebagai pelajaran, bahwa teriakan, olok-olokan, kata-kata yang merendahkan dan ejekan bisa menjatuhkan mental dan semangat seseorang, sebagaimana hal itu bisa membuat pohon menjadi layu dan kering.

KITA BUKAN POHON SOLOMON
            Di sini kita mencoba memposisikan sebagai objek yang direndahkan dan divonis sebagai orang yang lemah, tidak berdaya, tidak berbakat atau tidak memiliki masa depan. Akankah kita kemudian patah semangat sebagaimana layunya pohon Solomon?
            Memang menyakitkan, ketika kita memiliki sebagian sisi kekurangan, lalu kekurangan tersebut menjadi sasaran tembak bagi orang lain untuk melemahkan kita. Tapi seberapa besar pengaruh ejekan dan vonis buruk itu sebenarnya tergantung kita. Apakah akan kita telan, sehingga kita pasrah dan menyerah lalu berhenti untuk berusaha. Atau kemungkinan kedua kita bersikap cuek, sehingga tidak ada efek apapun yang merubah usaha dan ikhtiar. Bahkan bisa juga terjadi kemungkinan ketiga, kita menjadikannya sebagai cambuk dan tantangan. Kita akan buktikan, bahwa kita tidaklah seperti pohon Solomon.  Ejekan itu justru menjadi target yang menantang dan ajang pembuktian bahwa kita memiliki bakat, mampu meraih capaian yang tinggi dan memiliki masa depan cemerlang.     
            Satu diantara orang yang memilih opsi ketiga ini adalah Abu Ja’far Ath-Thahawi. Pada awlanya, beliau belajar kepada paman sekaligus gurunya, yakni Imam Al-Muzanni. Cukup lama proses belajar mengajar, hingga ada kata-kata dari pamannya, “Demi Allah, kamu tidak berbakat (menjadi ulama).” Kata-kata itu tidak membuat beliau menyerah, seakan justru menjadi cambuk untuk membuktikan, bahwa beliau berbakat menjadi ulama. Beliau kemudian belajar kepada ulama lain, terus belajar, menuntut ilmu dan menghafal Al-Qur’an. Hingga beliau mencapai derajat yang tinggi dalam bidang ilmu. Belau menjadi tokoh sentral di kalangan mahzab hanafi, mendapatkan gelar a-‘allamah, al-hafidz, al-kabiir dan juga muhaddits ad-diyaar al-mishriyah wa faqiihuha, pakar hadits dan pakar fikihnya para penduduk mesir.
            Saat beliau mengajar murid-muridnya dna meihat begitu banyak orang yang belajar kepada beliau, beliau teringat akan pamannya, lalu bergumam, “Semoga Allah merahmati Abu Ibrahim Al-Muzanni, seandainya beliau masih hidup tentulah akan membayar kafarah untuk sumpahnya.”
            Datangnya inspirasi, juga meledaknya motivasi tak selalu dalam rupa pujian atau kata-kata pengharapan. Ada kalanya olok-olokan, komentar miring, kritikan oedas, justru lebih manjur untuk mendongkrak semangat seseorang.
SATU HILANG, DUA TEPAMPANG
            Hal yang bisa membuat kita tetap eksis, dan bahkan bisa melejit saat mengahdapi hambatan adalah memahami kebijaksanaan Allah yang berlaku dialam ini. Ketika Allah menutup satu peluang bagi hamba-Nya, atau menakdirkan suatu ‘kekurangan’ atas hamba-Nya, pastilah Allah telah menyiapkan pintu lain sebagai karunia, juga kekuatan lain yang bisa jadi lebih baik dan lebih sempurna.
            Maka ketika harapan  serasa tertutup, tidak perlu bersedih karenanya. Bisa jadi Allah membuka dua harapan yang lebih sempurna. Bukankah rejeki kita dahulu saat di janin hanya dari satu pintu saja, tak ada jalan lain kecuali plasenta? Kemudian pintu itu tertutp saat kita lahir kedunia. Namun dua jalan rejeki tersedia tiba-tiba; dua sumber susu ibu yang luar biasa. Setelah disapih, dua pintu tertutup bagi kita, namun Allah membuka empat pintu sebagai gantinya; dua jenis makanan dan dua jenis minuman, makanan hewani dan nabati dengan berbagai rasa. Begitupun dengan air tawar dan juga yang memiliki rasa. Jika kemudian kita meninggalkan dunia yang fana ini, memang tertutup sedah keempat pintu ini seluruhnya. Namun, pengharapan yang Allah janjikan lebih sempurna, delapan pintu jannah siap menjemput bagi hamba yang bertakwa. Inilah kaedah yang diutarakan oleh Ibnul Qayyum al-Jauziyah:
            “Ketika Allah menutup satu pintu bagi hamba dengan hikmah-Nya niscaya Dia akan membuka pintu dua pintu untuknya dengan rahmat-Nya.”
            Kaidah inilah yang mengantarkan seorang anak di mesir mampu menghafal justru setelah ia kehilangan pandangan matanya. Allah menggantikan untuknya cahaya di hatinya, hingga mudah baginya untuk emnghafal Al-Qur’an. Bahkan ia tidak mau seandainya cahaya di hatinya diganti dengan cahaya dimatanya. Dan masih banyak lagi contoh di depan mata, dan kahirnya tergantung bagaimana   kita. Wallahu a’lam.(Abu Umar Abdillah) dikutip dengan beberapa perubahan [ar risalah no.139, vol.XII February 2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar