Konon ada kebiasaan unik yang
ditemui penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon di Pasifik Selatan. Ketika
terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit dirobohkan, mereka
mengumpat dan meneriaki pohon tersebut. Inilah cara yang mereka lakukan, dengan
tujuan agar pohon tersebut mati,. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih
kuat dan berani akan memanjat hingga keatas pohon itu. Lalu, ketika sampai
diatas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan
berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka melakukan teriakan
berjam-jam, kurang lebih selama 40 hari. Konon, pohon yang diteriaki itu
perlahan-lahan daunnya mulai mongering, layu dan mudah untuk dirobohkan. Lepas
dari kebenaran validitas cerita di atas, para pakar pendidikan banyak
menjadikan kisah ini sebagai pelajaran, bahwa teriakan, olok-olokan,
kata-kata yang merendahkan dan ejekan bisa menjatuhkan mental dan semangat
seseorang, sebagaimana hal itu bisa membuat pohon menjadi layu dan kering.
KITA BUKAN
POHON SOLOMON
Di sini kita mencoba memposisikan
sebagai objek yang direndahkan dan divonis sebagai orang yang lemah, tidak
berdaya, tidak berbakat atau tidak memiliki masa depan. Akankah kita kemudian
patah semangat sebagaimana layunya pohon Solomon?
Memang menyakitkan, ketika kita
memiliki sebagian sisi kekurangan, lalu kekurangan tersebut menjadi sasaran tembak
bagi orang lain untuk melemahkan kita. Tapi seberapa besar pengaruh ejekan dan
vonis buruk itu sebenarnya tergantung kita. Apakah akan kita telan, sehingga
kita pasrah dan menyerah lalu berhenti untuk berusaha. Atau kemungkinan
kedua kita bersikap cuek, sehingga tidak ada efek apapun yang merubah usaha
dan ikhtiar. Bahkan bisa juga terjadi kemungkinan ketiga, kita menjadikannya
sebagai cambuk dan tantangan. Kita akan buktikan, bahwa kita tidaklah
seperti pohon Solomon. Ejekan itu justru
menjadi target yang menantang dan ajang pembuktian bahwa kita memiliki bakat,
mampu meraih capaian yang tinggi dan memiliki masa depan cemerlang.
Satu diantara orang yang memilih
opsi ketiga ini adalah Abu Ja’far Ath-Thahawi. Pada awlanya, beliau belajar
kepada paman sekaligus gurunya, yakni Imam Al-Muzanni. Cukup lama proses
belajar mengajar, hingga ada kata-kata dari pamannya, “Demi Allah, kamu tidak
berbakat (menjadi ulama).” Kata-kata itu tidak membuat beliau menyerah, seakan
justru menjadi cambuk untuk membuktikan, bahwa beliau berbakat menjadi ulama.
Beliau kemudian belajar kepada ulama lain, terus belajar, menuntut ilmu dan
menghafal Al-Qur’an. Hingga beliau mencapai derajat yang tinggi dalam bidang
ilmu. Belau menjadi tokoh sentral di kalangan mahzab hanafi, mendapatkan gelar
a-‘allamah, al-hafidz, al-kabiir dan juga muhaddits ad-diyaar al-mishriyah wa
faqiihuha, pakar hadits dan pakar fikihnya para penduduk mesir.
Saat beliau mengajar murid-muridnya
dna meihat begitu banyak orang yang belajar kepada beliau, beliau teringat akan
pamannya, lalu bergumam, “Semoga Allah merahmati Abu Ibrahim Al-Muzanni,
seandainya beliau masih hidup tentulah akan membayar kafarah untuk sumpahnya.”
Datangnya inspirasi, juga meledaknya
motivasi tak selalu dalam rupa pujian atau kata-kata pengharapan. Ada kalanya
olok-olokan, komentar miring, kritikan oedas, justru lebih manjur untuk
mendongkrak semangat seseorang.
SATU HILANG,
DUA TEPAMPANG
Hal yang bisa membuat kita tetap
eksis, dan bahkan bisa melejit saat mengahdapi hambatan adalah memahami
kebijaksanaan Allah yang berlaku dialam ini. Ketika Allah menutup satu peluang
bagi hamba-Nya, atau menakdirkan suatu ‘kekurangan’ atas hamba-Nya, pastilah
Allah telah menyiapkan pintu lain sebagai karunia, juga kekuatan lain yang bisa
jadi lebih baik dan lebih sempurna.
Maka ketika harapan serasa tertutup, tidak perlu bersedih
karenanya. Bisa jadi Allah membuka dua harapan yang lebih sempurna.
Bukankah rejeki kita dahulu saat di janin hanya dari satu pintu saja, tak ada
jalan lain kecuali plasenta? Kemudian pintu itu tertutp saat kita lahir
kedunia. Namun dua jalan rejeki tersedia tiba-tiba; dua sumber susu ibu yang
luar biasa. Setelah disapih, dua pintu tertutup bagi kita, namun Allah membuka
empat pintu sebagai gantinya; dua jenis makanan dan dua jenis minuman, makanan
hewani dan nabati dengan berbagai rasa. Begitupun dengan air tawar dan juga
yang memiliki rasa. Jika kemudian kita meninggalkan dunia yang fana ini, memang
tertutup sedah keempat pintu ini seluruhnya. Namun, pengharapan yang Allah
janjikan lebih sempurna, delapan pintu jannah siap menjemput bagi hamba yang
bertakwa. Inilah kaedah yang diutarakan oleh Ibnul Qayyum al-Jauziyah:
“Ketika Allah menutup satu pintu
bagi hamba dengan hikmah-Nya niscaya Dia akan membuka pintu dua pintu untuknya
dengan rahmat-Nya.”
Kaidah inilah yang mengantarkan seorang anak di mesir
mampu menghafal justru setelah ia kehilangan pandangan matanya. Allah
menggantikan untuknya cahaya di hatinya, hingga mudah baginya untuk emnghafal
Al-Qur’an. Bahkan ia tidak mau seandainya cahaya di hatinya diganti dengan
cahaya dimatanya. Dan masih banyak lagi contoh di depan mata, dan kahirnya
tergantung bagaimana kita. Wallahu a’lam.(Abu Umar Abdillah)
dikutip dengan beberapa perubahan [ar risalah no.139, vol.XII February 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar